KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Alloh SWT atas
limpahan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Filsafat Islam tentang Biografi Imam Al-Ghazali tanpa ada alangan suatu
apa.
Adapun maksud
dari penyusunan makalah ini ialah untuk dapat memenuhi tugas mata kuliah Ilmu
Alamiyah Dasar semester I Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul Huda Al-Azhar,
(STAIMA), Citangkolo – Banjar. Makalah ini ditulis dan
disusun berdasarkan materi
semester I yang telah disampaikan oleh dosen pembimbing
makalah ini dapat
terselesaikan dengan baik atas
bantuan dari berbagai pihak, maka
dari itu kami mengucapkan terimakasih banyak kepada:
1. Bapak Drs. S. Sukirman
PW, MM.Pd. selaku kepala DPA STAIMA-Banjar
2. Bapak Ali Nurdin, S.Ag, M.Pd.I selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan serta bimbingannya dalam penyusunan makalah ini.p
3. Semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini.
4. Rekan-rekan
mahasiswa maupun mahasiswi yang telah menyumbangkan gagasannya dalam proses
penyusunan makalah ini.
Kami berharap, dengan
selesainya penyusunan makalah ini akan menambah wawasan dan pengetahuan
serta dapat bermanfaat bagi pembaca.
Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan serta kesalahan. Oleh karena itu kritik serta saran yang membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Gandrungmangu, 21 Desember 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI........................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENYUSUNAN............................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................ 1
C. TUJUAN PEMBAHASAN
MASALAH............................................... 1
D. METODE PENYUSUNAN................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. RIWAYAT
HIDUP IMAM AL GHAZALI ........................................ 2
B. KARYA-KARYA
IMAM AL GHAZALI .......................................... 3
C. FILSAFAT
IMAM AL GHAZALI....................................................... 5
D. PENGARUH
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN IMAM AL GHAZALI TER-
HADAP MASA DAN GENERASI SESUDAHNYA ......................... 8
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN........................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyusunan
Bertambah masa, bertambah berkembanglah pemikiran manusia.
Begitu pula dengan perkembangan filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam
mengalami perkembangan yang dapat dikatakan merubah pola filsafat Islam yang
banyak dipertentangkan. Ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Imam Al
Ghazali sebagai pionir filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep Islam.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kami menyusun
makalah yang berjudul Filsafat Al Ghazali sebagai kontribusi kecil kami dalam
menambah khazanah keilmuan. Selain itu, ini juga sebagai bentuk tanggung jawab
kami dalam memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah Filsafat Islam.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang
kami angkat dalam makalah ini sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Riwayat Hidup Al Ghazali?
2.
Apa Saja
Karya-karya yang pernah Ditorehkan oleh Al Ghazali?
3.
Bagaimanakah
Filsafat Al Ghazali?
4.
Apakah
Pemikiran-pemikiran Al Ghazali Berpengaruh terhadap Masa dan Generasi
Sesudahnya? Jika ya, seperti Apakah Pengaruhnya?
C. Tujuan
Pembahasan Masalah
Adapun tujuan dari pembahasan masalah di atas adalah sebagai berikut:
Adapun tujuan dari pembahasan masalah di atas adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui
Riwayat Hidup Al Ghazali.
2.
Mengetahui
Karya-karya yang pernah Ditorehkan oleh Al Ghazali.
3.
Mengetahui
Pemikiran-pemikiran Al Ghazali.
4.
Mengetahui
Pengaruh Pemikiran-pemikiran Al Ghazali terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya.
D. Metode Penyusunan
Metode yang kami gunakan dalam
penyusunan makalah ini adalah metode Kaji Pustaka.
BAB
II
PEMBAHASAN
IMAM AL-GHAZALI
(1058-1111 M)
A. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali,
lebih dikenal dengan Al Ghazali. Dia lahir di kota kecil yang terletak di dekat
Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 450 H (1058 M).[1]
Nama Al Ghazali ini berasal dari ghazzal, yang berarti tukang pintal benang,
karena pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol. Sedangkan Ghazali juga
diambil dari kata ghazalah, yaitu nama kampung kelahiran Al Ghazali dan inilah
yang banyak dipakai, sehingga namanya pun dinisbatkan oleh orang-orang kepada
pekerjaan ayahnya atau kepada tempat lahirnya.[2]
Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena orang
tuanya hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia
juga terkenal pecinta ilmu dan selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi
seorang ulama. Amat disayangkan ajalnya tidak memberikan kesempatan padanya
untuk menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai do’anya.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum
ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi:
1.
Ayahnya
sempat menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya yang bernama Ahmad. Ia adalah
seorang sufi, dengan bertujuan untuk dididik dan dibimbingnya dengan baik.
2.
Ayahnya
menitipkan Al Ghazali bersama saudaranya Ahmad kepada seorang sufi, untuk didik
dan dibimbing dengan baik.
Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang
menuntut ilmu. Karenanya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar
dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu
adalah Ahmad Ibn Muhammad Al Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar
di Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat
ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam Al
Haramaîn Al Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An Nizhâmiyah
Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme
dan ilmu-ilmu alam.[3]
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al
Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al
Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini meninggal dunia
pada tahun 478 H (1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm Al Mâlik di
kota Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia
tinggal di kota itu selama 6 tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru
di sebuah Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil.
Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan
terhadap pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismâiliyyah, golongan filsafat
dan lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam
dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105
M.
Empat tahun lamanya Al Ghazali memangku jabatan tersebut,
bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak
menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak
selamanya mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan,
pertanyaan-pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘inikah ilmu pengetahuan yang
sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?’, ‘Inikah cara hidup yang
diridhai Tuhan?’, dengan mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya.
Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Keraguan terhadap daya
serap indera dan olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya dia
menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke
Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan
sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr
yang dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh menuntut
kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke
kampungnya di Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan
beribadah sampai ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil
Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa
anak perempuan. Dan ada juga yang mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54
tahun.[4]
B. Karya-karya Imam Al Ghazali
Rampung dari mempelajari beberapa filsafat, baik Yunani
maupun dari pendapat-pendapat filosof Islam, Al Ghazali mendapatkan
argumen-argumen yang tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Oleh karena itu, Al Ghazali menyerang argumen filosof Yunani dan Islam
dalam beberapa persoalan. Di antaranya, Al Ghazali menyerang dalil Aristoteles
tentang azalinya alam dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan
tidak mengetahui perincian alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja.
Ia pun menentang argumen para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab
akibat semata-mata, mustahil adanya penyelewengan.[5]
Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas
pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum
bâthiniyyah dan kaum filosof. Sosok Al Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar
biasa. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan
pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Berikut beberapa warisan dari karya ilmiah yang paling besar
pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam:[6]
1.
Maqâshid Al
Falâsifah (tujuan-tujuan para filosof), karangan pertama yang berisi
masalah-masalah filsafat.
2.
Tahâfut Al
Falâsifah (kekacauan pikiran para filosof) yang dikarang ketika jiwanya dilanda
keragu-raguan di Baghdad dan Al Ghazali mengecam filsafat para filosof dengan
keras.
3.
Mi’yâr Al
‘Ilm (kriteria ilmu-ilmu).
4.
Ihyâ` ‘Ulûm
Ad Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), merupakan karya terbesarnya
selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara
damaskus,Yerussalem, Hijjâz dan Thus yang berisi panduan antara fiqih, tasawuf
dan filsafat.
5.
Al Munqidz
Min Adl Dlalâl (penyelamat dari kesatuan), merupakan sejarah perkembangan alam
pikiran Al Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu
serta jalan mencapai Tuhan.
6.
Al Ma’ârif
Al ‘Aqliyyah (pengetahuan yang rasional).
7.
Misykat Al
Anwâr (lampu yang bersinar banyak), pembahasan akhlâq tashawuf.
8.
Minhaj Al
‘Âbidîn (jalan mengabdikan diri pada Tuhan).
9.
Al
Iqtishâd fî Al I’tiqâd (moderasi dalam akidah).
10.
Ayyuhâ Al
Walad (wahai anak).
11.
Al Mustasyfa
(yang terpilih).
12.
Iljam Al
‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm.
13.
Mizan Al
‘Amal (timbangan amal).
C. Filsafat Imam Al Ghazali
1. Filsafat Ketuhanan Al Ghazali
1. Filsafat Ketuhanan Al Ghazali
Al Ghazali memandang metafisika (ketuhanan) dengan memberi
reaksi keras terhadap Neoplatonisme Islam. Menurutnya, banyak kesalahan para
filosof, karena mereka tidak teliti dalam lapangan logika dan matematika. Untuk
itu, Al Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh Neoplatonisme muslim (Al
Farabi dan Ibn Sina) serta secara tidak langsung terhadap Aristoteles, guru
mereka. Menurut Al Ghazali, dalam Tahâfut Al Falâsifah, para pemikir bebas
tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan
dasar-dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak
berguna bagi pencapaian intelektual mereka.
Pandangan Al Ghazali tentang filsafat ketuhanan terdiri dari tiga masalah pokok, yaitu:
a) Masalah Wujud
Al Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam Al Asy’ari, dalam
menetapkan wujud Tuhan. Beliau menggunakan dalil wujud Tuhan atas dua bentuk,
yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Penggunaan dalil naqli yakni melalui
perenungan terhadap ayat-ayat Al Qur`ân sambil memperhatikan alam semesta
sebagai ciptaan Tuhan bahwa dengan perenungan ayat dan fenomena alam yang serba
teratur, manusia akan sampai pada pengakuan terhadap wujud Tuhan.
Ia menunjukkan wujud Tuhan melalui dalil aqli dan ia
mempertentangkan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah adalah qadîm,
sedangkan wujud makhluk adalah hadîts (baru). Wujud hadîts menghendaki sebab
gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang mengadakannya. Sebab musabab
ini tidak akan berakhir sebelum sampai kepada Yang Qadîm yang tidak dicipta dan
digerakkan. Sedangkan jika wujud Allah hadîts, tentu akan menghendaki sebab
musabab seperti itu juga, yang sudah pasti tak akan ada pangkal pokok geraknya.
Hal demikian adalah suatu hal yang mustahil dan tak akan menghasilkan apa-apa.
b) Masalah Dzat dan Sifat
b) Masalah Dzat dan Sifat
Al Ghazali membatasi diri dari pembahasan tentang Dzat Tuhan
dengan mengemukakan hadits Nabi Muhammad saw. yang melarang manusia memikirkan
dzat Allah SWT. Dari itu, beliau menegaskan bahwa akal menusia tidak akan
sampai mencapai dzat itu. Cukup bagi manusia hanya mengetahui sifat af’âlnya
saja. Sedangkan dalam membahas sifat Tuhan, Al Ghazali cenderung mengikuti para
mutakallimîn dari madzhab Asy’ari. Beliau menetapkan adanya sifat dzat yang
diistilahkan dengan sifat salbiyyah (sifat yang menafikan sesuatu yang tidak
sesuai dengan kesempurnaan dzat Allah SWT). Sifat salbiyyah ini ada lima,
yaitu: Qidâm (tidak berpemulaan), Baqâ` (kekal), Mukhâlafah li Al Hawâdits
(berlainan dengan yang baru), Qiyâmuh Bi Nafsih (berdiri sendiri) dan
Wahdâniyyah (esa).
Sifat-sifat ini menafikan kesempurnaan makhluk dan
menetapkan kesempurnaan Allah SWT. Selain sifat salbiyyah, adapula sifat ma’âni
(sifat-sifat yang melekat pada dzat Allah SWT.) Dia bukanlah dzatnya dan adanya
sifat ini bersamaan dengan adanya Allah SWT. Dan tidak dapat dipisahkan dari dzatnya. Sifat ma’âni ada
tujuh yaitu: Qudrah (Maha Kuasa), Iradah (Maha Berkehendak), ‘Ilmu (Maha Mengetahui),
Sama’ (Maha Mendengar), Bashar (Maha Melihat), Kalam (Maha Berbicara)
dan Hayat (Maha Hidup).
c) Masalah Af’al
Al Ghazali berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT. tidak
terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi Allah SWT. juga menciptakan
perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari
kehendak Allah SWT. Manusia hanya diberi kekuasaan dalam lingkungan kehendak
Tuhan. Jadi pebuatan dan ikhtiar manusia adalah terbatas dan tidak akan melampaui
garis-garis qadar. Dalam menguraikan af’al ini, Al Ghazali mengembalikan
permasalahan kepada firman Allah SWT dalam Q.S. Fâthir ayat 8.
2. Tashawuf Al Ghazali
Al Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak percaya pada
kebenaran semua (oxioma atau sangat mendasar) yang akhirnya melahirkan skeptik.[7]
Dia pernah mengutarakan pendapatnya terkait cahaya, sebagai berikut:
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan
siap yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen,
sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas… Cahaya yang
dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari seseorang.”
Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan bahwa
satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi Al
Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan
Tashawuf.[8] Ungkapan ini ada setelah dia tidak merasa puas dengan ilmu
kalam dan filsafat serta meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah
Nizhamiyah, Baghdad tahun 1095 M dan pergi bertapa di salah satu menara Mesjid
Umawi di Damaskus.
Tashawuf Al Ghazali berbeda dengan tashawuf yang berkembang
saat itu. Ia tidak melibatkan diri dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme)
dan karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya
tidak berdasarkan hasil-hasil argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat tersebut,
tashawuf mulai digandrungi masyarakat lagi.
3. Filsafat Etika/ Akhlâq Al Ghazali
Tujuan dari butir-butir nilai akhlâq yang dikemukakannya
adalah sebagai sarana mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) dengan arti
membuka hijab-hijab yang membatasi diri manusia dengan Tuhannya, karena
menurutnya, akhlâq sangat terkait erat dengan filsafat ketuhanannya.[9]
Menurut Al Ghazali, akhlâq adalah sifat yang tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Dalam hal ini, terdapat
persamaan antara Imam Al Ghazali, Ibn Maskawaih dan Tusi, bahwa akhlâq harus
dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya. Karena ia
merupakan sumber
kebaikan, kebahagiaan dan sebaliknya.
Berbicara masalah jiwa, sebagaimana Tusi dan filosof
lainnya, Al Ghazali membagi jiwa menjadi tiga bagian, yaitu: jiwa bernafsu (an
nafs al bahîmiyyah) yang berasal dari materi, jiwa berani (an nafs as
sabû’iyyah) dan jiwa berfikir (an nafs an nâthiqah) yang berasal dari ruh Tuhan
yang tidak akan hancur. Al Ghazali juga membuat tabulasi kebaikan pokok, yang
terdiri dari empat hal, yaitu kebijaksanaan, keberanian, menjaga kesucian dan
keadilan. Empat hal ini merupakan jalan tengah dari ketiga jenis jiwa tadi. Dan
untuk mencapai jalan tengah ini, diperlukan akal yang berfungsi efektif bagi
terciptanya posisi tengah jiwa berpikir dan syari’at berfungsi efektif untuk
terciptanya posisi tengah jiwa bernafsu dan berani.
Al Ghazali mengenalkan konsep jalan lurus (ash shirât al
mustaqîm) yang dinyatakan lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam
daripada mata pisau. Kesempurnaan jalan ini akan dapat dicapai dengan
penggabungan antara akal dan wahyu.
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn merupakan salahsatu karya Al Ghazali yang
mengupas tentang pemikiran filsafat etikanya. Maka, dapat dikatakan bahwa
filsafat etika Al Ghazali adalah Tashawuf Al Ghazal, yang bertujuan pokok:
التخلّق
بالأخلاق الله على طاقة البشرية atau الصفات
الرحمن على طاقة البشطي
Maksudnya bahwa manusia semampunya meniru keteladanan
sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), serta
sifat-sifat yang disukai Tuhan, seperti sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas,
beragama dan lainnya.
Akhlâq merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya
pengendalian amarah. Dan jalan untuk mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani
serta latihan-latihan. Latihan ini dilakukan dengan amal-amal. Adapun tujuan
dari akhlâq luhur adalah menahan diri dari mencintai dunia wujud dan
mengalihkannya kepada nikmatnya mencintai Allah SWT.
Al Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya
adalah seimbang, dan lingkungan dan pendidikanlah yang memperburuknya.
Sebagaimana prinsip Islam, Al Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang
berkuasa dan sangat memelihara dan menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Untuk taqarrub
pada Allah, yang terpenting adalah muqârabah dan muhâsabah. Adapun kesenangan
menurut Al Ghazali ada dua, yaitu kepuasan (ladzdzât) ketika mengetahui
kebenaran sesuatu dan kebahagiaan (sa’âdah) ketika mengetahui kebenaran sumber
dari segala kebahagiaan itu sendiri (ma’rifatullâh disertai musyâhadah al
qalb).[10]
D. Pengaruh Pemikiran-pemikiran Imam Al
Ghazali terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya
Pemikiran Al Ghazali banyak mempengaruhi pada masa
setelahnya, karena sesuai dengan ajaran Islam. Ia mendapat gelar Hujjatul Islâm
karena jasanya dalam mengomentari dan melakukan pembelaan terhadap berbagai
serangan dari pihak luar, baik Islam maupun orientalis Barat.
Pemikiran Al Ghazali dan Ibn Rusyd pada dasarnya memiliki
satu garis kesamaan, yaitu sebuah garis yang berangkat dari titik pemikiran Ibn
Sina dengan aliran filsafat yang memiliki bangun dasar wahdatul wujûd. Al
Ghazali mengemukakan bahwa para filosof yang mengajarkan tiga hal (keabadian alam,
pengetahuan Tuhan yang universal dan menolak bangkitnya jasad setelah mati)
adalah kafir, termasuk yang mengikutinya.[11]
Beberapa filosof yang terpengaruhi pemikiran-pemikiran Al Ghazali dari karya-karyanya, yaitu:[12]
1.
B Mic Donal
menerjemahkan beberapa pasal dari Ihyâ` ‘Ulûmuddîn.
2.
H Baeur yang
menterjemahkan Qawâ’id Al ‘Aqâ`id ditransfer ke dalam bahasanya, yaitu Dogmatic
Al Ghazali’s.
3.
Carra De
Vaux yang menterjemahkan buku Tahâfut Al Falâsifah.
4.
De Boer dan
Asin Palacois yang masing-masing menterjemahkan Tahâfut Al Falâsifah.
5.
Barbier De
Minard yang menterjemahkan Al Munqizhu min Adl Dlalâl.
6.
WHT.
Craidner, London yang menterjemahkan buku Miskat Al Anwâr.
BAB
III
KESIMPULAN
Nama
lengkap Al Ghazali adalah Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih
dikenal dengan Al Ghazali. Lahir di Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak,
tahun 450 H (1058 M). Ayahnya adalah memintal benang wol.
Awal
mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum ayahnya meninggal,
namun dalam hal ini ada dua versi: ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada
saudaranya, Ahmad seorang sufi. Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak
yang senang menuntut ilmu. Al Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq
(laut yang menenggelamkan). Dan empat tahun Al Ghazali bergelimang ilmu
pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku
ilmiah dan filsafat. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya.
Dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah,
kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah
dan mengambil jalan sufi. Ia wafat pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H
(1111 M) dalam usia 55 tahun.
Al
Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang
mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum
filosof. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang
produktif.
Karya-karya
tulisnya meliputi: Maqâshid Al Falâsifah, Tahâfut Al Falâsifah, Mi’yâr Al ‘Ilm,
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn, Al Munqidz Min Adl Dlalâl, Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah, Misykat
Al Anwâr, Minhaj Al ‘Âbidîn, Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd, Ayyuhâ Al Walad, Al
Mustasyfa, Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm dan Mizan Al ‘Amal.
Filsafat
Imam Al Ghazali meliputi Filsafat Ketuhanan (Masalah Wujud, Dzat dan Sifat
serta Af’al); Tashawuf Al Ghazali, tidak melibatkan diri dalam aliran tashawuf
inkarnasi (pantheisme) dan karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang
benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan hasil-hasil argumen Ilmu Kalam;
Filsafat Etika/ Akhlâq Al Ghazali. Akhlâq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah dan gampang
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Al
Ghazali membagi jiwa menjadi tiga bagian, yaitu: an nafs al bahîmiyyah an nafs
as sabû’iyyah dan an nafs an nâthiqah. Ia pun mengenalkan konsep jalan lurus
(ash shirât al mustaqîm) yang dinyatakan lebih halus daripada sehelai rambut
dan lebih tajam daripada mata pisau. Filsafat etika Al Ghazali adalah Tashawuf
Al Ghazal, yang bertujuan pokok: التخلّق بالأخلاق الله على طاقة
البشرية.
Akhlâq merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya pengendalian amarah.
Dan jalan untuk mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani serta
latihan-latihan. Al Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya adalah
seimbang, dan lingkungan dan pendidikanlah yang memperburuknya.
Al Ghazali
menganggap Tuhan sebagai pencipta yang berkuasa dan sangat memelihara dan
menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Adapun kesenangan menurut Al Ghazali ada dua,
yaitu kepuasan dan kebahagiaan. Pemikiran Al Ghazali banyak mempengaruhi pada
masa setelahnya. Beberapa filosof yang terpengaruhi pemikiran-pemikiran Al
Ghazali dari karya-karyanya, yaitu: B Mic Donal, H Baeur, Carra De Vaux, De
Boer dan Asin Palacois, Barbier De Minard dan WHT. Craidner.
Catatan Kaki :
[1] Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hlm. 155.
[2] Hasyimiyah Nasution. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. hlm. 77.
[3] Ahmad Syadani. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia. hlm. 178.
[4] Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 67.
[5] Ibid. hlm. 68.
[6] Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV Insan Mandiri. hlm. 91-92.
[7] Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. hlm. 224.
[8] Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 31.
[9] Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 74.
[10] Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 33.
[11] Madkur, Ibrahim. 1968. Fî Al Falsafah Al Islâmiyyât wan Manhaj wa Tathbiquh. Kairo: Dâr Al Ma’ârif. hlm. 56-57.
[12] Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 137.
[1] Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hlm. 155.
[2] Hasyimiyah Nasution. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. hlm. 77.
[3] Ahmad Syadani. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia. hlm. 178.
[4] Yunasril Ali. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 67.
[5] Ibid. hlm. 68.
[6] Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV Insan Mandiri. hlm. 91-92.
[7] Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. hlm. 224.
[8] Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 31.
[9] Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 74.
[10] Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 33.
[11] Madkur, Ibrahim. 1968. Fî Al Falsafah Al Islâmiyyât wan Manhaj wa Tathbiquh. Kairo: Dâr Al Ma’ârif. hlm. 56-57.
[12] Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 137.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV Insan Mandiri.
Madkur, Ibrahim. 1968. Fî Al Falsafah Al Islâmiyyât wan Manhaj wa Tathbiquh. Kairo: Dâr Al Ma’ârif.
Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Hasyim Syah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Syadali, Ahmad Mudzakir, dkk. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar